Wisuda (dan pestanya) itu cuma ada dua tujuan: sebagai ajang pengumuman diri setelah bergelut dengan tumpukan materi dan pelatihan bertahun-tahun, dan sebagai penyuplai semangat untuk esok-lusa ketika berada di dunia riil. mestinya
yang kedua ini serupa zat adiktif, bukannya sekedar suplemen -- meski demikian nyatanya.
Ada teman saya yang gayanya keren. Sehabis wisuda datanglah dia ke
kampungnya dengan dada membusung dan kepala setegak gagak yang ingin mendeteksi
bangkai. Setiap dua-tiga orang berkumpul dia pasti hadir. Tidak ada sesuatupun yang dibawanya di tangan untuk dibagikan karena memang semua sudah disediakan para pendengar. Ia danggap sebagai tamu di sini, di tanahnya sendiri. Ia datang
saja sambil bersiul dengan tangan terbungkus saku (terkadang juga di pinggang).
Semua yang hadir di situ pun tidak menuntut apa-apa (tidak berani, tepatnya). Ia
turut menikmati saja sebagai bagian dari sebuah kezaliman yang lazim.
Setelah sekian menit berbasa-basi hingga menggapai fantasi layaknya
mengunyah sekumpulan mushroom, ia mengubah posisi duduknya. Mengajak
anak-anak sekolah yang sedari tadi hanya menenggak dan mengangguk bisu untuk mendekat sebab ia akan berceramah. Membagi ilmu.
“Di bawah kita, di perut bumi ini,
ada buaya yang berkoloni layaknya kita di bagian atas bumi ini. Mereka turut
menjaga keseimbangan! Itulah alasannya kenapa kita menemukan batu berbentuk
crocodile ketika mengais perut bumi demi mencari air”.
Semua mengangguk.
Tapi saya tahu ke mana arah pembicaraanya. Beberapa hari lalu ia, bersama
beberapa orang pencari batu berharga, mengulik kerak bumi dan salah satu temuan
mereka adalah sebentuk batu menyerupai buaya.
Mereka yang tua, dalam lingkaran itu, tidak pernah membayangkan kalau anak-anak
yang bergelantungan di atas minibus setiap waktu di sana adalah para pemburu
ijazah. Anak-anak sekolah yang ada dalam bilangan itupun saya yakin tidak pernah
membayangkan kalau mahasiswa yang kerjanya cuma tiduran di kontrakan, selalu
mengecek jadwal kondangan di kampung, dan lain sebagainya, akan mudah sekali
menambah panjang namanya dengan dua-tiga huruf biasa yang dikeramatkan dengan
seekor ayam merah. Yang mereka tahu adalah teman saya itu, anak kuliah yang
kini tidak boleh dianggap enteng; harus disemat sebutan “Pak” dan tambahan lain
di belakang namanya. Bagi mereka, itu bukan lagi sekedar atribut!
Esoknya ia – teman saya itu – melewatkan dua jam bangun paginya seperti
biasa. Kesiangan. Buru-buru ia pergi tanpa mandi dan sarapan. Berdiri di pintu
kelas:
“Anak-anak, catatan hari ini dimulai dari bab kelima,
halaman 107 sampai halaman 116. Minggu depan ulangan bab ini”.
Esok dan seterusnya adalah libur resminya yang dieufimis sebagai
fakultatif. Ia pergi, menunggu lagi hari di mana bab kelima itu akan dibuatkan angka-angkanya
dalam selembar kertas mitigatif untuk diserahkan. Penuh resiko, tapi tak peduli!
Setelah itu dimulailah libur yang sesungguhnya bagi mereka yang doyan
menggunakan tanggung jawabnya. Tapi dia selalu ada di mana-mana.
Tidak ada surat peringatan.
Tidak ada intimidasi.
Tidak ada antibodi,
bagai memungut Panta-Rhei bagi seekor bagal yang terlanjur punya insang.
#selamat_hari_guru
» Jeffrey Aryanto »
Mantap 👍 dari Rahmadona Sugiaty
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak, bu hehe....
Hapus