TAKUT
Beberapa hari belakangan ini viral permintaan
maaf dengan meterai enam ribu. Entah siapa penggagasnya tapi yang jelas ini
merupakan hal baru dalam menyelesaiakan sebuah persoalan. Alih-alih membawa kesalahpahaman-kesalahpahaman yang ada untuk
diselesaikan secara mufakat, mereka – para “penemu” ide kocak tersebut – malah
menciptakan trend yang benar-benar baru. Meterai yang sejatiya (setahu saya) adalah
sebagai alat pembuktian mengenai sebuah perbuatan, kenyataan ataupun keadaan
yang bersifat perdata sekarang kok malah dibawah ke ranah pidana. Ada-ada saja.
Tapi pertanyaan utama saya sesungguhnya adalah
kenapa sampai ada inisiatif menggunakan meterai dalam membuat sebuah surat
permintaan maaf? Kurang yakinkah mereka akan keabsahan surat yang dibuat? Tidak
cukupkah sebuah ungkapan verbal mencukupkan keinginan yang terlmpau suci
sekalipun? Ataukah justru ada ketakutan akut dari dalam hati mereka terhadap
keyakinan yang mereka banggakan itu? Tidak ada yang tahu selain Tuhan dan –
tentu saja – mereka sendiri. Tapi kalau boleh menebak, saya memilih kemungkinan
kedua.
Takut itu normal. Manusia – seberani apapun dia
– selalu ada keniscayaan akan rasa takut yang terbawa sejak lahir. Tidak ada
satu manusiapun yang mampu melarikan diri dari perasaan itu. Rasa takut itu
tidak diskriminatif. Tidak pandang status sosial dan sebagainya. Pengelolaan
emosi yang baik sajalah yang sering menarik rasa takut itu KE DALAM diri
sehingga membuat keberanian itu muncul ke permukaan.
Jika menggunakan teori Edward T. Hall tentang
keterkaitan antara jarak dalam memahami bahasa tubuh seseorang, seharusnya
ketakutan-ketakutan semacam itu hanya boleh terjadi ketika mereka berusaha
menjaga teritorinya yang terusik. Menjaga wilayah intimnya yang tidak boleh
dimasuki orang lain. Tapi itupun mengisyaratkan bahwa yang dijaga itu adalah
memang benar-benar PATUT dijaga, bukan TERPAKSA patut dijaga (hanya karena
ingin terlihat bagai pejuang yang mengimpikan gelar santo, misalnya). Karena
jika “penjagaan” itu dipaksakan maka masuklah mereka dalam kategori inferior
karena menggunakan ruang sosial untuk menjaga jarak dengan menolak kehadiran
orang lain. Salah kamar, istilah lainnya.
Ibarat meja berkaki empat, kita butuh
keberanian untuk melawan ketidakbenaran. Kita butuh solidaritas untuk
membungkam kesewenangan. Kita butuh komitmen untuk merawat keberagaman. Dan
kita butuh hati untuk menopang pikiran yang kacau karena kepintaran yang
setengah-setengah. Tanpa itu semua kita hanya akan menjadi generasi penikmat
sinetron.
Tanpa sadar meterai itu berbicara banyak kepada
kita tentang siapa mereka. Mereka sedang menjual diri secara terbuka tentang
rasa takut mereka yang tak terkelola secara baik.
» Jefri Aryanto »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar