Cari Blog Ini

Minggu, 25 Oktober 2020

TAKUT

 


TAKUT

Beberapa hari belakangan ini viral permintaan maaf dengan meterai enam ribu. Entah siapa penggagasnya tapi yang jelas ini merupakan hal baru dalam menyelesaiakan sebuah persoalan. Alih-alih membawa  kesalahpahaman-kesalahpahaman yang ada untuk diselesaikan secara mufakat, mereka – para “penemu” ide kocak tersebut – malah menciptakan trend yang benar-benar baru. Meterai yang sejatiya (setahu saya) adalah sebagai alat pembuktian mengenai sebuah perbuatan, kenyataan ataupun keadaan yang bersifat perdata sekarang kok malah dibawah ke ranah pidana. Ada-ada saja.

Tapi pertanyaan utama saya sesungguhnya adalah kenapa sampai ada inisiatif menggunakan meterai dalam membuat sebuah surat permintaan maaf? Kurang yakinkah mereka akan keabsahan surat yang dibuat? Tidak cukupkah sebuah ungkapan verbal mencukupkan keinginan yang terlmpau suci sekalipun? Ataukah justru ada ketakutan akut dari dalam hati mereka terhadap keyakinan yang mereka banggakan itu? Tidak ada yang tahu selain Tuhan dan – tentu saja – mereka sendiri. Tapi kalau boleh menebak, saya memilih kemungkinan kedua.

Takut itu normal. Manusia – seberani apapun dia – selalu ada keniscayaan akan rasa takut yang terbawa sejak lahir. Tidak ada satu manusiapun yang mampu melarikan diri dari perasaan itu. Rasa takut itu tidak diskriminatif. Tidak pandang status sosial dan sebagainya. Pengelolaan emosi yang baik sajalah yang sering menarik rasa takut itu KE DALAM diri sehingga membuat keberanian itu muncul ke permukaan.

Jika menggunakan teori Edward T. Hall tentang keterkaitan antara jarak dalam memahami bahasa tubuh seseorang, seharusnya ketakutan-ketakutan semacam itu hanya boleh terjadi ketika mereka berusaha menjaga teritorinya yang terusik. Menjaga wilayah intimnya yang tidak boleh dimasuki orang lain. Tapi itupun mengisyaratkan bahwa yang dijaga itu adalah memang benar-benar PATUT dijaga, bukan TERPAKSA patut dijaga (hanya karena ingin terlihat bagai pejuang yang mengimpikan gelar santo, misalnya). Karena jika “penjagaan” itu dipaksakan maka masuklah mereka dalam kategori inferior karena menggunakan ruang sosial untuk menjaga jarak dengan menolak kehadiran orang lain. Salah kamar, istilah lainnya.

Ibarat meja berkaki empat, kita butuh keberanian untuk melawan ketidakbenaran. Kita butuh solidaritas untuk membungkam kesewenangan. Kita butuh komitmen untuk merawat keberagaman. Dan kita butuh hati untuk menopang pikiran yang kacau karena kepintaran yang setengah-setengah. Tanpa itu semua kita hanya akan menjadi generasi penikmat sinetron.

Tanpa sadar meterai itu berbicara banyak kepada kita tentang siapa mereka. Mereka sedang menjual diri secara terbuka tentang rasa takut mereka yang tak terkelola secara baik.

» Jefri Aryanto »

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEGUMUMAN KELULUSAN SISWA  SMA NEGERI MIOMAFFO TENGAH  TAHUN AJARAN 2021/2022 Informasi ini disampaikan kepada seluruh siswa Kelas XII SMAN ...