Cari Blog Ini

Sabtu, 21 November 2020

Menyerah

 



Menyerah

Pengantar: Ini tulisan lama beberapa tahun lalu. Sengaja saya unggah lagi sebagai pengingat.

Tentang para loser yang mendadak ngartis sekarang dengan jualan fitnah mereka, si Eggy ini mengingatkan saya akan sistem flag-to-flag yang ada dalam sirkus motoGP.

Dunia balap motoGP mengenal istilah flag-to-flag. Sebuah istilah yang dipakai sejak tahun 2005 hingga sekarang untuk membantu para rider masuk pitlane untuk mengganti motor (menggunakan motor kedua) ketika cuaca berubah di tengah balapan yang sedang berlangsung tanpa harus menunda balapan. Saya termasuk penikmat olahraga ini yang – jujur saja – paling tidak menyukai regulasi ini karena seringkali pembalap idola saya tidak cukup cekatan ketika melompat dari motor pertama ke motor kedua. Sepersekian detik waktu jadi berkurang untuk melanjutkan balapan. Maka ketika tahun ini pihak Dorna sedikit memodifikasi regulasi ini saya ikut bergembira karena akhirnya ada celah buat para pembalap yang kurang gesit untuk mengatur strategi. 

Flag-to-flag itu menyakitkan tapi juga menegangkan, seperti si Eggi yang sedang mengikuti sang guru mengganti motor di kota suci sana.  Sebuah tren baru yang tentu punya intensi tertentu. Kemarin ia meminta tidak perlu dipanggil polri untuk diambil keteranganya terkait Saracen. Hari ini ia menyepi untuk menyusun dengki. Baginya pemanggilan itu searti dengan undangan untuk berperang. Ada sakit yang tak terkira di waktu lalu karena hasrat yang tak kesampaian lalu ia – mereka – memutuskan mengganti motor, berharap akan ada takjub yang tak terkira begitu mereka muncul lagi nanti (tapi saya yakin persentasi nol persen!). Penonton pun harap-harap cemas: akankah ada setingan baru sekeluarnya mereka dari sana? Sabar saja. Tapi yang pasti jangan berharap mereka akan berubah laku, karena adakah dari telaga yang jernih mengalir air yang keruh? Mustahil yang buruk mendatangkan kebaikan. Mengikuti prinsip air, kebaikan – juga kejahatan – selalu berjalan mencari jalannya sendiri.

Beliau ini menolak diperiksa kepolisian dengan alasan keyakinan pribadi akan ketidakterlibatannya. Persis seperti tabiat kaumnya, mereka selalu meminta orang lain mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di depan pengadilan, tetapi mereka sendiri selalu ingin disebut sebagai korban kejam dari fitnah yang tidak perlu lagi butuh proses pengadilan. Gila kan? Lalu untuk apa ada instrumen hukum dalam sebuah sistem pemerintahan? Bukankah ia juga khatam hukum? Tapi rupanya teknik lama (mengajak simpati orang-orang – maaf – bodoh  yang memegang gadget pintar) masih diupayakan dengan harapan akan terus manjur. Memang masih akan ada orang-orang setia yang terus berdiri di samping mereka. Tapi itu tidak seberapa. Hanya ada tiga-empat orang sebagai mekanik untuk terus menyetel motor dengki itu: mengganti part motor, memegang motor agar si pembalap melompat, dan mengawasi pitlane untuk menuntunnya keluar pit. Tapi di luar sana racingline-nya sudah disesaki penonton yang tidak menginginkannya bergerilya dengan hasrat busuknya.

Lucu. Tapi juga aneh. Orang-orang itu selalu berteriak kasar dan terang-terangan menuntut perubahan. Perubahan sesuai imajinasi mereka, bukan sesuai hasrat orang-orang baik kebanyakan. Perubahan yang tidak akan pernah mengenyangkan kesombongan mereka. Perubahan utopis di tengah-tengah umat yang fakir nalar dan  menghamba pada mereka – orang-orang yang sok suci – yang tak kehabisan bulus. Maka jadilah candu agama itu. Menjadi sebuah pembenaran! Beruntunglah kita yang meletakkan akal dan iman sebagai akar yang ekual menuju ekuilibrium sosial, politik dan budaya.

Orang-orang itu pada awalnya pongah karena merasa tak akan tersentuh. Taktik mereka takkan terbaca lawan, kira-kira begitu pikir mereka. Lalu tiba-tiba sindikat itu terbongkar. Maka buyarlah semuanya. Flag-to-flag itu pada akhirnya seperti isyarat menyerah. Mereka hanya meminjam tanah suci untuk basa-basi kemudian membuat konpers bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Mereka terlalu berani untuk menghasut ketenangan negeri ini tapi mereka juga terlalu malu untuk mengakui bahwa mereka juga manusia yang sesewaktu butuh kata menyerah untuk menyumbat ambisi mereka yang kelewat memalukan.

Itu ompong!

Semoga mereka menempati pitlane yang tidak ada motornya juga mekaniknya. Prodeo!

» Jeffrey Aryanto »

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEGUMUMAN KELULUSAN SISWA  SMA NEGERI MIOMAFFO TENGAH  TAHUN AJARAN 2021/2022 Informasi ini disampaikan kepada seluruh siswa Kelas XII SMAN ...