Menyerah
Pengantar: Ini tulisan lama beberapa tahun lalu. Sengaja saya unggah lagi sebagai pengingat.
Tentang para loser yang mendadak ngartis sekarang dengan jualan fitnah mereka,
si Eggy ini mengingatkan saya akan sistem flag-to-flag
yang ada dalam sirkus motoGP.
Dunia balap motoGP mengenal istilah flag-to-flag. Sebuah istilah yang
dipakai sejak tahun 2005 hingga sekarang untuk membantu para rider masuk pitlane untuk mengganti motor
(menggunakan motor kedua) ketika cuaca berubah di tengah balapan yang sedang
berlangsung tanpa harus menunda balapan. Saya termasuk penikmat olahraga ini
yang – jujur saja – paling tidak menyukai regulasi ini karena seringkali
pembalap idola saya tidak cukup cekatan ketika melompat dari motor pertama ke motor
kedua. Sepersekian detik waktu jadi berkurang untuk melanjutkan balapan. Maka
ketika tahun ini pihak Dorna sedikit memodifikasi regulasi ini saya ikut
bergembira karena akhirnya ada celah buat para pembalap yang kurang gesit untuk
mengatur strategi.
Flag-to-flag itu menyakitkan tapi juga
menegangkan, seperti si Eggi yang sedang mengikuti sang guru mengganti motor di
kota suci sana. Sebuah tren baru yang
tentu punya intensi tertentu. Kemarin ia meminta tidak perlu dipanggil polri
untuk diambil keteranganya terkait Saracen. Hari ini ia menyepi untuk menyusun
dengki. Baginya pemanggilan itu searti dengan undangan untuk berperang. Ada
sakit yang tak terkira di waktu lalu karena hasrat yang tak kesampaian lalu ia
– mereka – memutuskan mengganti motor, berharap akan ada takjub yang tak
terkira begitu mereka muncul lagi nanti (tapi saya yakin persentasi nol
persen!). Penonton pun harap-harap cemas: akankah ada setingan baru sekeluarnya
mereka dari sana? Sabar saja. Tapi yang pasti jangan berharap mereka akan
berubah laku, karena adakah dari telaga yang jernih mengalir air yang keruh? Mustahil
yang buruk mendatangkan kebaikan. Mengikuti prinsip air, kebaikan – juga
kejahatan – selalu berjalan mencari jalannya sendiri.
Beliau ini menolak diperiksa kepolisian dengan
alasan keyakinan pribadi akan ketidakterlibatannya. Persis seperti tabiat
kaumnya, mereka selalu meminta orang lain mempertanggungjawabkan perbuatan
mereka di depan pengadilan, tetapi mereka sendiri selalu ingin disebut sebagai
korban kejam dari fitnah yang tidak perlu lagi butuh proses pengadilan. Gila
kan? Lalu untuk apa ada instrumen hukum dalam sebuah sistem pemerintahan?
Bukankah ia juga khatam hukum? Tapi rupanya teknik lama (mengajak simpati
orang-orang – maaf – bodoh yang memegang
gadget pintar) masih diupayakan
dengan harapan akan terus manjur. Memang masih akan ada orang-orang setia yang
terus berdiri di samping mereka. Tapi itu tidak seberapa. Hanya ada tiga-empat
orang sebagai mekanik untuk terus menyetel motor dengki itu: mengganti part motor, memegang motor agar si
pembalap melompat, dan mengawasi pitlane
untuk menuntunnya keluar pit. Tapi di
luar sana racingline-nya sudah
disesaki penonton yang tidak menginginkannya bergerilya dengan hasrat busuknya.
Lucu. Tapi juga aneh. Orang-orang
itu selalu berteriak kasar dan terang-terangan menuntut perubahan. Perubahan sesuai
imajinasi mereka, bukan sesuai hasrat orang-orang baik kebanyakan. Perubahan
yang tidak akan pernah mengenyangkan kesombongan mereka. Perubahan utopis di
tengah-tengah umat yang fakir nalar dan
menghamba pada mereka – orang-orang yang sok suci – yang tak kehabisan
bulus. Maka jadilah candu agama itu. Menjadi sebuah pembenaran! Beruntunglah
kita yang meletakkan akal dan iman sebagai akar yang ekual menuju ekuilibrium
sosial, politik dan budaya.
Orang-orang itu pada awalnya pongah karena
merasa tak akan tersentuh. Taktik mereka takkan terbaca lawan, kira-kira begitu
pikir mereka. Lalu tiba-tiba sindikat itu terbongkar. Maka buyarlah semuanya. Flag-to-flag itu pada akhirnya seperti
isyarat menyerah. Mereka hanya meminjam tanah suci untuk basa-basi kemudian
membuat konpers bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Mereka terlalu berani
untuk menghasut ketenangan negeri ini tapi mereka juga terlalu malu untuk
mengakui bahwa mereka juga manusia yang sesewaktu butuh kata menyerah untuk
menyumbat ambisi mereka yang kelewat memalukan.
Itu ompong!
Semoga mereka menempati pitlane yang tidak ada motornya juga mekaniknya. Prodeo!
» Jeffrey Aryanto »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar