Aturan pertama dalam teknik psikologi untuk membuat orang lain melakukan
apa saja yang kita kehendaki adalah berusahalah memikat hati mereka. Lakukanlah
sesuatu yang bisa membuat mereka menyukai pribadi kita. Menangkan hati mereka
dan kita akan memanen dua keuntungan sekaligus: kepercayaan dan ambisi.
Kelihatannya mudah tetapi tidak semua orang mampu melakukan hal ini.
Bagi sebagian orang yang menyukai “ketenangan”, teknik ini adalah pilihan
pertama dan utama. Orang-orang seperti ini biasanya menyelaraskan pikiran dan
hati sebelum mecapai tujuan. Kurang lebih seperti dalam ilmu Tai Chi, perlu
mengatur napas secara baik dan benar sebelum menyerang musuh. Percuma memiliki
ilmu kanuragan yang sakti mandraguna tapi tidak memiliki penguasaan diri yang
baik. Sedangkan bagi mereka yang keras kepala dan arogan ini adalah pilihan
yang tidak masuk akal karena terlalu berputar-putar. Terlalu lama bermain-main
di permukaan padahal bukan itu yang disasar. Orang-orang seperti ini biasanya
tidak memilih basa-basi. Tidak mementingkan proses. Seumpama berjalan ke sebuah ruang lain yang dibatasi
tembok tapi tidak memilih cara memutar atau memanjat tembok itu melainkan
mereka memilih menabrak temboknya, meruntuhkannya, lalu menggapai harapan yang
sudah lama terpendam tanpa peduli akan tembok itu.
Rupanya teknik psikologi ini yang sedang “digalakkan” oleh beberapa
orang di negeri ini. Awalnya mereka menanamkan tipudaya dan provokasi ke
mana-mana untuk merebut simpati (kepercayaan). Kepada para bocahpun mereka
tidak peduli. Kebenaran tidak sudi mereka lihat secara objektif. Mereka
mempercayai kebenaran yang dikhayalkan sendiri, seolah mereka pemilik
satu-satunya kebenaran itu. Sebanyak mungkin orang ditarik ke dalam pusaran
permainan mereka. Dan begitu kebusukan mereka ketahuan kemudian, upaya merebut
simpati – lagi – mulai dijalankan. “Saya
tidak mungkin melakukan tindakan keji itu. Saya takut sama yang di atas,”
katanya. Entah ada apa gerangan di atas sana. “Atas” sebagai simbol ataukah
“Atas” sebagai tekstual? Di bagain lain ada yang bilang, “membunuh semut saja
beliau tidak berani, apalagi beliau melakukan ********** (sensor!). Itu
fitnah!”
Ada sebuah ungkapan yang suka saya ingat: untuk membunuh iblis, kau
harus pertama-tama membersihkan hati iblismu. Sayangnya iblis itu sudah
terlanjur betah di dalam sana. Cara mengusirnya adalah dengan berhenti
berbohong. Tetapi sayang seribu sayang, kebohongan itu sudah terlanjur
beranak-pinak. Menular hingga hampir tidak menyisakan lagi kepercayaan dari
kebanyakan orang kepada kebenaran-kebenaran yang sudah ditetapkan para pendiri
bangsa.
Kita selalu percaya bahwa masih sangat banyak orang di negeri ini yang memiliki
pikiran positif untuk kemajuan bangsa dan keberlanjutan NKRI dengan Pancasila
sebagai dasarnya. Tetapi coba hitung, berapa banyak orang yang mau dan berani
menularkan pikiran positif itu untuk mengurung segelintir manusia yang suka
menang sendiri itu? Mungkin masih banyak, tetapi hampir tidak ada gaungnya. Tidak
sedikit yang masih melihat ke luar dengan pikiran acuh. “Biarkan saja. Selama
saya tidak menggangu mereka dan merekapun tidak mengganggu saya bersama kepentingan-kepentingan saya, biarkanlah”.
Sementara di luar sana mereka, para pengacau itu, terus bergerak. Mereka menularkan
virus kekacauan kepada siapa saja, termasuk orang-orang yang tidak mengganggu
mereka. Mereka tidak peduli kita mengganggu mereka atau tidak. Mereka tidak
peduli sekalipun kita berbuat baik secara sembunyi-sebunyi. Sebaik apapun kita
bagi mereka kita adalah makluk ekstraterestrial yang harus disingkirkan. Bagi
mereka ketidakpedulian kita adalah suplemen.
Mau sampai kapan kita menikmati ketidakpedulian kita? Mau sampai kapan
kita menjaga batas teritori kita yang semakin hari semakin dipersempit oleh
mereka? Mau sampai kapan kita membiarkan kepercayaan yang sudah diberikan oleh
para pejuang kemerdekaan kita dulu dirampas? Mau sampai kapan kita bertahan
untuk tidak merampas kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga
pemerintah?
Benar bahwa kebenaran selalu mencari jalannya sendiri. Tapi kebaikan
harus ditularkan. Keberanian membutuhkan taktik. Dan kepercayaan harus
dimenangkan.
» Jeffrey Aryanto »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar