Cari Blog Ini

Sabtu, 24 Oktober 2020

REACH OUT AND TOUCH

 

SAUDARA

Reach out and touch...

Suatu siang – sehabis menonton kisah Tony Melendez – saya melewatkan kegiatan siang itu dengan pikiran yang tidak biasa. Kepala saya seperti berisi pita magnetik yang memutar ulang tanpa henti potongan lagu yang dinyanyikannya. Reach out and touch, katanya. Beberapa potong kata ini seperti membentuk sebuah kata baru yang baru saja ditambahkan ke dalam kamus kebangsaan kita yang selama ini mulai hilang: Persaudaraan.

Di banyak tempat kita menemukan banyak orang dengan kecongkakan yang sama dalam melihat segala sesuatu. Berbicara tentang Tuhan Yang Baik tetapi abai terhadap sesama yang menderita. Mereka menciptakan opini-opini kontradiktif dan murahan tentang usaha membangun dunia yang adil dan damai tapi tidak menyadari perilakunya yang apatis dan indiferen terhadap sesama. Ada saling klaim tentang kebenaran, keadilan, persauraan, dan sebagainya seakan Tuhan menciptakan tujuh miliar manusia dengan isi kepala yang persis sama. Melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang sendiri lalu memaksa orang lain untuk tidak boleh mengikuti apa yang diyakininya benar kini menjadi hal biasa di tengah masyarakat. Padahal apa sih susahnya menerima orang lain sebagai saudara dalam kemanusiaan? Apa sih susahnya menerima bahwa perbedaan itu ada karena Tuhan itu sendiri MAHA dalam segala hal, termasuk menempatkan kekhasan pada sepasang bayi kembar?

Banyak waktu dan tenaga kita terkuras percuma hanya untuk memikirkan cara menolak orang lain sebagai saudara dalam kemanusiaan. Waktu terus berputar sementara kita tertinggal dalam pikiran negatif tanpa batas. Semakin belajar kita semakin menemukan alasan untuk bertindak bodoh. Semakin beragama kita semakin mahir meyakinkan diri untuk menipu Tuhan.  Semakin rajin membaca kitab suci kita semakin menikmati kebenaran yang kita khayalkan. Tuhan itu ternyata benda mati yang kita hidupkan lewat kata-kata di tengah jalan. Tuhan itu ternyata MAHA hanya ketika keinginan kita dipaksakan berseberangan dan menang terhadap orang lain. Tuhan itu adalah kita sendiri.

“Saudara” adalah sebuah term universal dalam upaya menyatukan manusia secara utuh. Saudara selalu tidak merujuk pada hubungan darah. Ia melampaui itu! Pemahaman yang universal ini berfungsi mendorong kesadaran manusia untuk segera sampai kepada Esse Est Co-Esse seperti yang diserukan Gabriel Marcel. Manusia tidak perlu saling menunjuk wajah untuk menegaskan keberadaan masing-masing karena keberadaan individu adalah titik mula sebuah totalitas keber-ada-an sebagai sebuah commune.  Kehadiran – sebagaimana kata Marcel – adalah afirmasi final akan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam kehadiran (baca: ada bersama), hakekat terdalam dari relasi manusia mewujud. Itu berarti bahwa personalitas hanya berarti dalam kolektifitas. Maka “menjewer telinga” dan “menarik rambut orang lain” degan maksud memuaskan hasrat kebinatangan kita adalah tindakan negasif terhadap saudara sebagai alter ego atau the other i.

Saudara adalah sesama dan sesama adalah cermin. Sesama bukanlah aku. Tetapi sesama adalah aku yang lain. Sesama adalah subyek yang harus berjumpa dengan aku untuk membentuk sebuah partisipasi dan saling memberi arti secara tertentu. Relasi antarsubyek ini harus terus betumpuh hingga mencapai kepenuhannya melalui sikap keterbukaan dan rasa percaya diri yang tinggi. Keterbukaan dan kebebasan untuk menerima sesama menandakan sehatnya relasi antarsubyek. Aku menjadi penuh ketika membagikan cinta kepadamu dan engkau pun semakin bertumbuh ketika secara bebas menerima cintaku. Inilah kulminasi keseimbangannya: tidak ada negasi juga subordinasi. Yang satu tidak menguasai yang lain.

Sesama adalah cermin: di dalamnya Anda akan melihat seberapa kuat Anda menggunakan kata-kata energik dan positif untuk membangun, seberapa lemah kita melawan kecenderungan buruk kita dalam hal-hal kecil seperti amarah, sepositif apa kita menaruh kepercayaan pada kelemahan orang lain, dan seterbuka apa kita terhadap perbedaan di lingkungan sekitar.. Sesama bisa menjadi mimpi baik serentak mimpi burukmu. Sesama itu sudah hadir ketika kita dilahirkan ke dunia.

Para psikoanalis menyebut bagian yang dianggap mimpi buruk itu dengan nama Anima – “jiwa” yang terisolir di dasar ruang bawah sadar. Ia terlalu sulit disadari tetapi kehadirannya yang tiba-tiba akan menggagapkan manusia yang selalu abai terhadap rasa peduli pada sesama. Karena itu, keterlenaan adalah perangkap yang selalu samar bagi sebagian besar manusia dan altruisme adalah belati yang dengannya Anda bisa menjinakkan Anima yang liar itu. Manusia harus selalu menyadari – lagi dan lagi – impuls mekanis dalam batinnya untuk melawan egoisme yang kini sudah melempem terlalu jauh dari makna dasarnya. Ini penting agar kemudian pemahaman akan totalitas “sebuah” pribadi tidak bersifat parsial semata sebagaimana orang memahami tubuh sebagai yang-bukan-tangan dan otak sebagai yang-bukan-tubuh fisik.

Dan pada akhirnya di ujung kesadaran yang belum terlambat, rasanya tidak perlu malu mengulurkan tangan untuk menepuk pundak atau menjabat orang lain dengan lembut sambil berbisik mesra:

Saudaraku, aku melihat Tuhan di matamu

» Jefri Petrus »

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEGUMUMAN KELULUSAN SISWA  SMA NEGERI MIOMAFFO TENGAH  TAHUN AJARAN 2021/2022 Informasi ini disampaikan kepada seluruh siswa Kelas XII SMAN ...