SAUDARA
Reach
out and touch...
Suatu
siang – sehabis menonton kisah Tony Melendez – saya melewatkan kegiatan siang
itu dengan pikiran yang tidak biasa. Kepala saya seperti berisi pita magnetik
yang memutar ulang tanpa henti potongan lagu yang dinyanyikannya. Reach out and
touch, katanya. Beberapa potong kata ini seperti membentuk sebuah kata baru
yang baru saja ditambahkan ke dalam kamus kebangsaan kita yang selama ini mulai
hilang: Persaudaraan.
Di banyak tempat kita menemukan banyak orang dengan
kecongkakan yang sama dalam melihat segala sesuatu. Berbicara
tentang Tuhan Yang Baik tetapi abai terhadap sesama yang menderita. Mereka menciptakan opini-opini kontradiktif dan murahan tentang usaha
membangun dunia yang adil dan damai tapi tidak menyadari perilakunya yang
apatis dan indiferen terhadap sesama. Ada saling klaim tentang kebenaran, keadilan, persauraan, dan sebagainya
seakan Tuhan menciptakan tujuh miliar manusia dengan isi kepala yang persis
sama. Melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang sendiri lalu memaksa
orang lain untuk tidak boleh mengikuti apa yang diyakininya benar kini menjadi
hal biasa di tengah masyarakat. Padahal apa sih susahnya menerima orang lain
sebagai saudara dalam kemanusiaan? Apa sih susahnya menerima bahwa perbedaan
itu ada karena Tuhan itu sendiri MAHA dalam segala hal, termasuk menempatkan
kekhasan pada sepasang bayi kembar?
Banyak
waktu dan tenaga kita terkuras percuma hanya untuk memikirkan cara menolak
orang lain sebagai saudara dalam kemanusiaan. Waktu terus berputar sementara
kita tertinggal dalam pikiran negatif tanpa batas. Semakin belajar kita semakin
menemukan alasan untuk bertindak bodoh. Semakin beragama kita semakin mahir
meyakinkan diri untuk menipu Tuhan.
Semakin rajin membaca kitab suci kita semakin menikmati kebenaran yang
kita khayalkan. Tuhan itu ternyata benda mati yang kita hidupkan lewat
kata-kata di tengah jalan. Tuhan itu ternyata MAHA hanya ketika keinginan kita
dipaksakan berseberangan dan menang terhadap orang lain. Tuhan itu adalah kita
sendiri.
“Saudara” adalah sebuah term universal dalam upaya
menyatukan manusia secara utuh. Saudara selalu tidak merujuk pada hubungan
darah. Ia melampaui itu! Pemahaman yang universal ini berfungsi mendorong
kesadaran manusia untuk segera sampai kepada Esse Est Co-Esse seperti yang diserukan Gabriel Marcel. Manusia
tidak perlu saling “menunjuk wajah” untuk menegaskan keberadaan masing-masing karena keberadaan individu
adalah titik mula sebuah totalitas keber-ada-an sebagai sebuah commune.
Kehadiran – sebagaimana kata Marcel – adalah afirmasi final akan
eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam kehadiran (baca: ada bersama),
hakekat terdalam dari relasi manusia mewujud. Itu berarti bahwa personalitas
hanya berarti dalam kolektifitas. Maka “menjewer telinga” dan “menarik rambut
orang lain” degan
maksud memuaskan hasrat kebinatangan kita adalah tindakan
negasif terhadap saudara sebagai alter
ego atau the other i.
Saudara adalah sesama dan sesama adalah
cermin. Sesama bukanlah aku. Tetapi
sesama adalah aku yang lain. Sesama
adalah subyek yang harus berjumpa dengan aku
untuk membentuk sebuah partisipasi dan saling memberi arti secara tertentu.
Relasi antarsubyek ini harus
terus betumpuh hingga mencapai kepenuhannya melalui sikap keterbukaan dan rasa
percaya diri yang tinggi. Keterbukaan dan kebebasan untuk
menerima sesama menandakan sehatnya relasi antarsubyek. Aku menjadi penuh ketika membagikan cinta kepadamu dan engkau pun
semakin bertumbuh ketika secara bebas menerima cintaku. Inilah kulminasi keseimbangannya:
tidak ada negasi juga subordinasi. Yang satu tidak menguasai yang lain.
Sesama adalah cermin: di dalamnya Anda akan
melihat seberapa kuat Anda menggunakan kata-kata energik dan positif untuk
membangun, seberapa
lemah kita melawan kecenderungan buruk kita dalam hal-hal kecil seperti amarah, sepositif apa
kita menaruh kepercayaan pada kelemahan orang lain, dan seterbuka apa kita
terhadap perbedaan di lingkungan sekitar.. Sesama bisa
menjadi mimpi baik serentak mimpi burukmu. Sesama itu sudah hadir ketika kita dilahirkan
ke dunia.
Para psikoanalis menyebut bagian yang
dianggap mimpi buruk itu dengan nama Anima – “jiwa” yang terisolir di dasar
ruang bawah sadar. Ia terlalu sulit disadari tetapi kehadirannya yang tiba-tiba
akan menggagapkan manusia yang selalu abai terhadap rasa peduli pada sesama. Karena
itu, keterlenaan adalah perangkap yang selalu samar bagi sebagian besar manusia
dan altruisme adalah belati yang dengannya Anda bisa menjinakkan Anima yang
liar itu. Manusia harus selalu menyadari – lagi dan lagi – impuls mekanis dalam
batinnya untuk melawan egoisme yang kini sudah melempem terlalu jauh dari makna
dasarnya. Ini penting agar kemudian pemahaman akan totalitas “sebuah” pribadi
tidak bersifat parsial semata sebagaimana orang memahami tubuh sebagai
yang-bukan-tangan dan otak sebagai yang-bukan-tubuh fisik.
Dan pada akhirnya di ujung kesadaran yang belum
terlambat, rasanya tidak
perlu malu mengulurkan tangan untuk menepuk pundak atau menjabat orang lain
dengan lembut sambil berbisik mesra:
Saudaraku, aku melihat Tuhan di
matamu…
» Jefri Petrus »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar