Suka-Duka
Pembelajaran
Pendidikan
Agama Katolik
Secara
Daring
Oleh: Jefri A. Petrus
Pengantar
(Selain dalam bentuk Word, materi ini juga tersedia dalam bentuk PPT [PowerPoint]. Silakan mengunduhnya di sini).
Sejak kasus
pertama Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) diumumkan oleh Presiden Joko Widodo
pada awal Maret 2020 yang lalu, Indonesia kemudian dihadapkan pada masa
pandemi. Banyak sektor kehidupan yang lumpuh, termasuk bidang pendidikan.
Negara kemudian berupaya
untuk memulihkan keadaan dengan berbagai cara. Di bidang pendidikan, pemerintah
memberlakukan model Pendidikan Jarak jauh (PJJ) dalam beberapa tahap sesuai
tingkat kesehatan masing-masing daerah. Model pendidikan ini bergantung penuh
pada penggunaan teknologi. Guru, siswa, dan orang tua dituntut untuk secepatnya
beradaptasi dengan teknologi agar hasil yang diinginkan dapat tercapai.
Sistem pembelajaran daring
merupakan sistem pembelajaran tanpa tatap muka secara langsung antara guru dan
peserta didik, tetapi dilakukan melalui saluran internet. Di sini, Guru harus
memastikan kegiatan belajar mengajar tetap berjalan meskipun peserta didik
berada di rumah. Orang tua pun dituntut untuk memberikan pendampingan secara
maksimal kepada anak dengan menyediakan fasilitas dan waktu yang cukup.
Efektifitas
pembelajaran daring
Riset terbaru dari universitas Harvard yang
dipublikasikan pada tanggal 4 September 2020 (https://www.pnas.org/content/116/39/19251) menunjukkan bahwa mayoritas peserta didik lebih menyukai cara belajar yang lebih
partisipatif agas hasilnya lebih maksimal. Pembelajaran dengan model mendengarkan ceramah dari
pengajar tidak disukai karena menempatkan peserta didik pada posisi pasif
semata.
Harapan yang tertuang dalam penilitan tersebut secara nyata
menunjukkan bahwa kelas luring jauh lebih disukai dibanding kelas daring. Dalam
benak kebanyakan orang, kelas daring identik dengan formalitas, dan cenderung
sia-sia.
Namun pandemi COVID-19
telah memaksa terjadinya hal yang tidak kita bayangkan sebelumnya yaitu
kelas-kelas daring menguasai dan mendominasi proses belajar konvensional/tatap
muka. Semua orang dipaksa melek teknologi tanpa kecuali. Semua orang harus menjadikan
teknologi debagai kebutuhan primer.
1. Kesiapan guru menyambut
pembelajaran daring
Melalui banyak media yang ada sekarang, kita disodorkan
informasi bahwa terdapat begitu banyak guru dan dosen yang hanya sekadar
memberikan pelajaran dan tugas tanpa memberi bimbingan kepada peserta didik (https://nasional.kompas.com/read/2020/03/24/15391751/mendikbud-singgung-guru-yang-hanya-beri-tugas-berat-tanpa-bimbingan).
Tugas mendidik diserahkan sepenuhnya kembali kepada orang tua. Maka muncullah
rasa frustrasi dan bosan dari para orang tua dan peserta didik.
Fakta pola pemberian materi dan tugas dari para guru seperti
dalam berita-berita tersebut menimbulkan beragam pertanyaan, salah satunya
adalah tentang kesiapan para guru itu sendiri. Dugaan saya adalah rupanya banyak
guru yang masih memegang teguh prinsip bahwa pembelajaran secara daring ini
sama sekali tidak bagus karena terdapat materi-materi tertentu dari beberepa
mata pelajaran yang harus dijelaskan secara konvensional (tatap muka). Prinsip
ini tentunya tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak bisa digaungkan
terus-menerus karena kini kita berada pada sebuah situasi dan kondisi yang
tidak memberikan pilihan sempurna bagi para guru. Lagi pula kemajuan teknologi telah
mengisi hampir seluruh kegiatan manusia. Teknologi dan manusia pada zaman
sekarang merupakan satu paket obat dalam menata dunia: yang satu harus
dilakukan dan yang lainnya jangan dilupakan.
Untuk mengatasi ke-belum-siapan guru ini, hal pertama yang perlu
dilakukan adalah mengubah pola pikir (mindset) tentang makna belajar dan
menyambut ketidakpastian sebagai bentuk stimulasi dalam metode pengajaran
mereka. Guru perlu meng-upgrade diri terlebih dahulu sebelum menuntut
instrumen-instrumen lain di luar dirinya (orang tua, siswa, dan pemerintah)
untuk ikut bertanggung jawab. Guru harus perlahan sadar bahwa sekalipun cara
mengajar konvensional masih dibutuhkan, sentuhan teknologi sudah tak bisa lagi
dihindari dalam pendidikan. Guru harus menguasai teknologi (media pemebelajaran)
agar dapat menciptakan pembelajaran yang inovatif dan kreatif dan tidak
menimbulkan kebosanan pada peserta didik.
2. Beberapa masalah selama
pembelajaran daring:
a.
Lokasi
rumah siswa tidak terjangkau jaringan internet
b.
Quota
internet siswa yang minimalis
c.
Belum
semua siswa memiliki gawai
d.
Partisipasi dan tingkat penyerapan materi oleh siswa
sangat minimalis
e.
Tugas-tugas
yang dikumpulkan secara daring selalu sama (copas antarsiswa saja/dikerjakan
oleh orang tua)
f.
Gangguan
listrik + jaringan telkomsel (internet)
g.
Siswa
belum familier dengan aplikasi/platform pembelajarn yang ada
Solusi yang dilakukan:
1. Siswa yang lokasi rumahnya tidak
terjangkau jaringan internet dibolehkan melakukan “migrasi temporer” ke rumah
siswa terdekat yang memiliki jaringan internet, dengan tetap memperhatikan
prokes.
2. Siswa yang tidak memiliki quota
internet dan tidak memiliki gawai juga diminta melakukan “migrasi temporer”
dengan tetap memperhatikan prokes. Selain itu mereka juga akan diberikan
salinan materi pembelajaran dan soal-soal latihan dalam bentuk cetakan.
3. Selalu meng-update atau
menayangkan nilai latihan soal dan tugas-tugas di aplikasi pembelajaran yang
biasa digunakan untuk memotivasi sekaligus mengingatkan siswa yang tidak aktif
dalam pembelajaran
4. Penilaian tugas didasarkan pada
kemampuan siswa pada pembelajaran luring, bukan pada hasil kerja yang
dikumpulkan secara daring.
5. Menyiapkan waktu khusus untuk
mendampingi dan melatih para siswa dalam menggunakan media pembelajaran yang
ada
Platform
atau Media Pembelajaran
Berikut ini beberapa platform
pembelajaran daring terbaik yang (pernah) coba saya gunakan:
1. Zoom Meeting.
Di awal-awal
pembelajaran daring, aplikasi ini begitu booming hingga saya pun mengajak dan
mewajibkan para siswa untuk menginstallkannya di gawai mereka. Perlahan
semangat untuk menggunakan aplikasi ini mulai menurun seiring munculnya
kesulitan-kesuliatan yang dihadapi siswa seperti yang telah saya kemukakan di
atas.
2. Google Suite For Education (GSE)
Fasilitas ini disediakan
secara gratis oleh raksasa teknologi dunia: Google. Beberapa aplikasi yang
tersemat di dalamnya yaitu goggle Meet, google document, google Slide, Goggle
Sheet, gmail, calender, goggle classroom, goggle drive dan masih banyak lagi.
3. Rumah belajar.
Platform ini dikembangkan oleh
Kemendikbud dengan tujuan untuk menyediakan alternatif sumber belajar dengan pemanfaatan
teknologi. Rumah Belajar hadir sebagai bentuk inovasi pembelajaran di era
industri 4.0 yang dapat dimanfaatkan oleh siswa dan guru PAUD, SD, SMP, dan
SMA/SMK. Terdapat berbagai fitur belajar utama yang tersemat di dalamnya
seperti Sumber Belajar, Laboratorium Maya, Kelas Maya, Bank Soal, dan
beberapa fitur pendukung lainnya yaitu Buku Sekolah Elektronik (BSE), Peta
Budaya, Wahana Jelajah Luar Angkasa, Ragam Bahasa dan Sastra, Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan, dan Game Edukasi. Semua fitur ini dapat diakses
dengan mudah di https://belajar.kemdikbud.go.id/.)
Kekurangan dari
platform ini adalah minimnya (bahkan tidak tersedia) materi pelajaran
Pendidikan Agama Katolik.
4. Whatsapp.
Setelah mengalami
kesulitan dalam menggunakan aplikasi zoom, saya akhirnya memilih untuk beralih
ke platform ini saja karena beberapa alasan:
-
mudah
diakses semua kalangan;
-
kemampuan
melakukan panggilan video dalam grup lebih dari 10 orang;
-
bisa
melakukan ujian secara realtime.
-
bisa
menyematkan tautan dari platform lain (link video Youtube, google Document, materi
berformat PPT, dll.).
Proses Belajar dengan Whatsapp:
1. Membuat Grup belajar.
Grup
dibuat sesuai nama-nama kelas dan guru bertindak sebagai admin grup. Di sekolah
saya – karena kepemilikan gawai oleh siswa yang cuma segelintir – grup ini
tidak saya buat berdasarkan nama kelas tetapi berdasarkan tingkat (Kelas X,
Kelas XI, dan Kelas XII).
Berikut
ini jumlah siswa pengguna aplikasi Whatsapp untuk pembelajaran di SMAN Miomaffo
Tengah tahun 2021 ini:
-
Kelas
X: siswa yang menggunakan Whatsapp cuma 22 orang (dari total 60 siswa).
-
Kelas
XI, siswa yang menggunakan Whatsapp cuma 29 orang (dari total 63 orang)
-
Kelas
XII, siswa yang menggunakan Whatsapp Cuma 28 orang (dari total 63 orang)
2. Menggabungkan siswa ke dalam grup
Setelah
grupnya tersedia, guru (admin) menambahan siswa ke dalam grup.
3. Membuat jadwal dan rencana
belajar bersama siswa
Di
sini partisipasi siwa sangat dibutuhkan agar tidak terjadi bentrok antara
jadwal belajar dan jadwal peribadi.
4. Kegiatan belajar
Pada
bagian ini proses belajar sudah dapat dumulai dengan terlebih dahulu guru
mengirimkan link presensi harian (yang telah dibuat menggunakan google
formulir) untuk diisi oleh siswa. Selanjutnya video call grup dapat
dimulai selama beberapa menit sebelum – nantinya – guru mengirimkan file materi
dan file tugas untuk dipelajari lagi di rumah masing-masing.
Pengalaman
saya selama ini: karena jumlah siswa yang bergabung dalam grup tingkat
(kelas keseluruhan, kelas Xi
keseluruhan, dan kelas XII keseluruhan) lumayan banyak maka untuk sekali video
call partisipannya saya batasi cuma
bisa 10 orang (sesuai strandar pihak Whatsapp). Sisanya bisa terlibat video
call grup lagi pada lain waktu sesuai kesepakatan (berdasarkan juga pada
masalah jaringan internet dan quota internet yang dimiliki siswa).
5. Penilaian hasil belajar
Untuk
menggenjot semangat belajar siswa, guru sebaiknya rutin mengirimkan daftar
nilai ke dalam grup.
Beberapa tips/strategi
pembelajaran daring agar bisa dinikmati oleh siswa:
1. Ciptakan suasana interaktif.
Hilangkan sekat-sekat konvensional antara guru dan siswa
2.
Gunakan
games, survey ataupun kuis secara real time. Misalnya dengan menggunakan fitur
google doc. Percayalah, dengan metode ini, siswa yang biasanya terlihat pendiam
dan biasa-biasa saja di dalam kelas sebelumnya bisa jadi akan tampak antusias.
3.
Hindari
terlalu lama melakukan pembelajaran daring agar siswa tidak cepat lelah dan
bosan.
4.
Berikan
jeda waktu yang cukup bagi siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Sekali
seminggu cukuplah.
5.
Jalinlah
komunikasi juga dengan orangtua siswa agar mereka juga ikut memantau
perkembangan anak mereka
Kesimpulan
Seperti layaknya sebuah perubahan baru, model pembelajaran
daring ini pun memiliki kisahnya tersendiri. Banyak hal yang terjadi selama
proses pembelajaran daring ini, baik itu kisah yang menyenangkan (suka) maupun
yang tidak menyenangkan (duka). Beberapa kisah menyenangkan (suka) yang saya
rangkum adalah sebagai berikut:
-
Guru
dituntut utuk mahir teknologi lalu mengaplikasikannya dalam pembelajaran,
misalnya dengan membuat RPP berbasis TIK;
-
Guru
tidak lagi disibukkan dengan tumpukan buku/atau kertas hasil ujian siswa yang
jumlahnya bisa menutupi seluruh meja kerja;
-
Guru dan siswa lebih fleksibel dalam menentukan waktu
pembelajaran karena tidak terikat ruang dan waktu konvensional;
-
Siswa mendapat bonus (keuntungan ganda) pemahaman dan
penerapan TIK/teknologi pada umumnya selama pembelajaran berlangsung.
Sedangkan beberapa hal yang tidak
menyenangkan (duka) dan menjadi tantangan adalah sebagai berikut:
-
Kuota internet siswa yang terbatas, jaringan internet
dan listrik yang belum merata di semua wilayah tinggal siswa, dan sedikitnya
jumlah siswa yang memiliki gawai;
-
Banyak siswa yang belum familier dengan internet dan
belum mampu mengoperasikan media pembelajaran yang tersedia;
-
Kebijakan sekolah (diskresi kepala sekolah) yang
tidak memperhatikan pentingnya penguasaan teknologi dalam pembelajaran.
Demikian cerita suka-duka pembelajaran
daring selama masa pandemi covid-19 ini. Semoga Anda terinspirasi untuk
melakukan terobosan dan inovasi dalam pembelajaran.
Bagi teman-teman guru, saya ingin kita
merefleksikan dua ungkapan berharga ini:
-
Tempora mutantur et nos mutamur in illis (Waktu berubah dan kita
pun berubah seiring dengannya ) – kutipan dari drama karya Edward Forsett, Pedantius babak 1
adegan 3.
-
Segala yang berharga dalam hidup ini datang dengan resiko besar (Novel “Aroma Karsa”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar